Rabu, 30 Maret 2011

Sebuah cerpen Dampak Lingkungan

SELAMAT JALAN SAYANG
Sebuah Cerpen tentang Dampak Lingkungan Karya: Herni Fuaziah
Guru SMK Negeri 8 Medan
Hujan deras akhir-akhir ini menjadi suatu hal yang biasa saja. Tidak terpikir sama sekali oleh ku ketika hujan tiga hari berturut-turut akan menimbulkan bencana yang luar biasa. Tengah malam suara guruh bersahut-sahutan tiada berhenti.
Suara hiruk pikuk tiba-tiba terdengar tak jelas. Namun tiba-tiba
“Banjir! Banjir!Banjir!”.
Aku tidak punya firasat apa-apa.
“ Ah, paling-paling sebentar lagi hujan berhenti, banjir tidak mungkin sampai ke rumahku”.
Karena lampu padam maka kuhidupkan lampu teplok beberapa. Anak-anak kusuruh tidur saja.
Biarlah malam ini mereka tidak usah belajar. Toh besok hari Minggu, pikirku.
Selesai shalat Isya, aku berbaring di samping mas Hari, sempat aku bercerita tentang hujan yang tidak pernah berhenti ini. Keluhanku tentang kain-kain cucian yang tidak kering-kering. Saat itu mas Hari bilang,
“ Kamu cuma mikir diri sendiri aja “,
“ Pikirkan para petani, kalau hujan terus-terus begini, tanaman cabe, tomat, sayuran bahkan padi bisa busuk dan gagal panen”.
Aku terdiam. Apalagi kata mas Hari, cuaca tak bermusim itu pertanda pasti ada terjadi ketidak seimbangan alam.
Terbayang olehku seminggu yang melintas di desaku lima unit truk yang membawa kayu gelondongan dari hulu desa. Truk-truk tersebut bukan sekali itu saja melintas, tapi sudah merupakan route perjalanan usaha perkayuan.
“ Oh, pasti sudah terjadi penggundulan hutan di gunung yang memang tak jauh lokasinya dari desa tempat tinggal kami.”


Seiring dengan keterkejutanku, tiba-tiba suara hiruk pikuk seakan sudah di samping rumah kami. Aku kalut dan panik. Kubangunkan suamiku dan aku berlari ke kamar anak-anak. Namun tak sempat aku membuka pintu kamar anak-anakku, tiba-tiba sebuah benturan menghempas pintu depan rumah kami.
Air tiba-tiba saja memberondong masuk, mendorong apa saja, meja, kursi lemari , rak buku saling berbenturan. Sebuah kayu besar menghantam atap rumah kami, membuat kami terkucar-kacir, aku tak lagi sempat memegang anak-anak. Mas Hari terbawa arus keluar rumah. Masih kudengar suara teriakan anak-anak memanggil namaku dan nama ayahnya.
Aku tersangkut di bubungan atap. Sebuah tiang kupegang erat-erat. Aku tak lagi mendengar suara teriakan anak-anak lagi. Tapi aku terus mencari-cari kalau-kalau suara-suara itu masih terdengar. Tapi hanya senyap, setelah itu akupun tak sadarkan diri.
Keesokan harinyakudapati diriku sudah berada di tumpukan kayu-kayu bekas rumah entah dimana. Sunyi , hanya beberapa orang kulihat berusaha berjalan mencari-cari pertolongan.
“Mas , Sarah, Putri dan Hadi, dimana kalian?”
Beberpa orang tim penyelamat mendekatiku. Mereka bilang” Telah terjadi banjir bandang, ibu”. Aku menangis mencari tiga buah hatiku, juga suamiku. Namun sampai beberapa minggu mereka tak kutemukan. Aku tak berani menghadiri pemakaman massal, aku tak ingin berharap mereka ada disana.
Waktu berlalu setahun sudah. Penantianku sia-sia ternyata. Tiga buah hatiku dan mas Hari kekasihku hilang pada tengah malam itu. Kuraih satu persatu kenangan-kenanganku bersama mereka. Kelucuan si kecil Hadi menari-nari dalam ingatan, dua dara kecilku yang rajin pergi bersama malam tak meningglkan jejak. Mas Hari berlalu dalam kegundahan bersama mimpi panjang.
Kini aku hanya bisa berdoa, semoga kejadian terberat yang kualami tak terulang lagi. Aku tak ingin generasiku, generasi kita bisa hidup damai tanpa bencana. Kita tidak boleh hidup sembarangan, patuhi ketentuan alam yang merupakan rantai kehidupan yang telah diciptakan Tuhan.
Bersama anak-anak yayasan panti asuhan, kini aku aktif menggalakakan penghijauan dengan menanam sejuta pohon terutama di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar