Kamis, 18 Oktober 2012

KERUDUNG


Masih pagi, masih terlalu pagi bagiku untuk mencari sesuatu yang belum pasti. Aku berjalan tak tentu arah, aurora masih remang-remang menyinari kerudung merahku yang tersibak dihembus angin malam. Pikiranku jauh menerawang ke alun-alun gubuk reyot yang ku tinggalkan tadi. Terduduk ibu dan adikku di peraduan. Menungguku pulang dengan penuh harap, cemas.
                Masih melekat di pelupuk mataku kala bapak menyemburkan nestapa di wajah ibu, tadi malam. Berselempang dosa ia menyuruk gubuk kami, meninggalkan jejak luka dan kesedihan pada kami. Terlebih pada Nisa, adikku, cemas menanti ujian nasionalnya yang tinggal hitungan hari. Ia terancam tak dapat mengikuti ujian nasional, mengingat tunggakan uang sekolahnya yang masih 5 bulan. Rencananya tunggakan itu akan dibayar 3 bulan dulu, setelah ibu menjual guci peninggalan almarhumah nenek. Selanjutnya, biaya Nisa masuk SMA kami belum tahu akan mencari uang ke mana.
                Tapi Allah masih akan menguji iman kami lagi. Guci harapan Nisa dirampas bapak. Tentu saja ia akan menggunakannya untuk membeli tuak lagi, atau mungkin membayar hutang judinya pada orang. Ah, entahlah. Aku mencoba untuk tidak peduli.
                Di tanganku masih terselip ijazah sarjana ekonomiku yang sejak dua tahun lalu belum pernah menginap di instansi manapun. Kerudung yang tiap hari melekat di kepalaku menjadi alasan bagi semua instansi untuk tidak menerimaku bekerja di kantornya. Mereka menuntut agar aku mau membuka kerudung kesayanganku, dengan begitu mereka akan menerimaku. Tapi kerudung tetaplah kerudung. Tak bisa ia digantikan oleh pakaian dan rok mini. Bagiku kerudung adalah harga diri seorang wanita.
***