Masih pagi, masih terlalu pagi bagiku untuk mencari sesuatu yang belum
pasti. Aku berjalan tak tentu arah, aurora masih remang-remang menyinari
kerudung merahku yang tersibak dihembus angin malam. Pikiranku jauh menerawang ke
alun-alun gubuk reyot yang ku tinggalkan tadi. Terduduk ibu dan adikku di
peraduan. Menungguku pulang dengan penuh harap, cemas.
Masih melekat di pelupuk mataku
kala bapak menyemburkan nestapa di wajah ibu, tadi malam. Berselempang dosa ia
menyuruk gubuk kami, meninggalkan jejak luka dan kesedihan pada kami. Terlebih
pada Nisa, adikku, cemas menanti ujian nasionalnya yang tinggal hitungan hari.
Ia terancam tak dapat mengikuti ujian nasional, mengingat tunggakan uang
sekolahnya yang masih 5 bulan. Rencananya tunggakan itu akan dibayar 3 bulan
dulu, setelah ibu menjual guci peninggalan almarhumah nenek. Selanjutnya, biaya
Nisa masuk SMA kami belum tahu akan mencari uang ke mana.
Tapi Allah masih akan menguji
iman kami lagi. Guci harapan Nisa dirampas bapak. Tentu saja ia akan
menggunakannya untuk membeli tuak lagi, atau mungkin membayar hutang judinya
pada orang. Ah, entahlah. Aku mencoba untuk tidak peduli.
Di tanganku masih terselip
ijazah sarjana ekonomiku yang sejak dua tahun lalu belum pernah menginap di
instansi manapun. Kerudung yang tiap hari melekat di kepalaku menjadi alasan
bagi semua instansi untuk tidak menerimaku bekerja di kantornya. Mereka
menuntut agar aku mau membuka kerudung kesayanganku, dengan begitu mereka akan
menerimaku. Tapi kerudung tetaplah kerudung. Tak bisa ia digantikan oleh
pakaian dan rok mini. Bagiku kerudung adalah harga diri seorang wanita.
Senja sampai di
ufuk barat ketika menggema suara azan dari mesjid tak jauh dari rumah.
Aku, ibu, dan Nisa duduk bertiga
di ruangan tidur kami. Al-Qur’an berada di pangkuan kami. Surah Al-‘Alaq adalah
surah favoritku. Bergantian kami membaca ayat demi ayat hingga gema azan Isya berkumandang.
Kami shalat berjamaah, berharap Allah mengabulkan doa kami setiap harinya.
Begitulah kegiatan kami sehari-hari. Selalu bersama, tanpa sosok bapak yang
memberi nafkah.
Masih lekat di ingatanku
kejadian siang tadi. Ketika tubuhku linglung, gundah mencari pekerjaan ke sana
ke mari, tentunya berbekal ijazah sarjanaku. Seorang wanita berkerudung hitam
menabrakku. Mungkin tidak sengaja. Ia menabrak tepat di dekat sebuah parit.
Ijazahku terlepas, jatuh dan masuk ke dalam parit yang penuh lumpur.
Harapanku seolah lepas begitu
saja. Bagaimana mungkin aku melamar pekerjaan dengan menunjukkan ijazah
berlumpur? Kini kami hanya bisa pasrah. Terkadang hatiku tersayat melihat wajah
putus asa Nisa. Ia benar-benar ingin mengikuti ujian Nasional. Ibu benar-benar
tak tahu harus mencari uang ke mana lagi. Keahliannya menjahit hanya sesekali saja
digunakan. Orang-orang lebih memilih membeli baju baru ketimbang harus menjahit
kain atau hanya sekedar menambal lubang-lubang yang menganga di bajunya.
Kadang ibu mengikuti pertunjukan
teater. Karena selain menjahit, kemampuannya hanya terletak pada bidang acting.
Tapi itupun tak sering diikutinya. Ibu berharap dari kegiatan tersebut dapat
sekedar mengisi tudung saji kami yang sering kosong.
***
Seperti pagi kemarin, pagi ini aku keluar pagi-pagi sekali. Bahkan ayam
jago milik tetanggaku pun belum bangun, belum ku dengar kokoknya dari tadi.
Imanku memudar. Aku mulai putus
asa ketika tadi malam ku dengar ibu menangis terisak, mengingat keuangan kami
yang benar-benar tipis. Ditambah lagi ulah bapak yang semakin tak karuan.
Rasanya bapak lebih baik menghilang saja. Daripada harus terus menjadi benalu
bagi kami.
Keyakinanku merapuh. Ku ingat
lagi alasan mengapa sampai sekarang tak pernah ada satu instansi pun yang mau
menerimaku bekerja. Kerudung. Dulu bagiku kerudung adalah harga diri seorang
wanita. Kerudung segala-galanya. Kini ku coba untuk melepas kerudungku. Mungkin
aku akan mendapat rezeki karena ulahku itu. Ku singkirkan harga diriku demi
mengisi perut ibu dan adikku. Ku campakkan harga diriku demi pendidikan adikku.
Inilah usahaku, ku pikir.
Perjalanan menuju sebuah kantor
rasanya jauh sekali mengingat pakaian yang ku kenakan agak terbuka. Hawa
bertambah dingin ketika angin malam tak segan-segan menghembuskan kemunafikan
di tubuhku.
Dari kejauhan ku lihat bapak
jalan sempoyongan. Mungkin habis minum, ku pikir. Sengaja ku palingkan wajahku
dan berbalik arah, semoga bapak tidak melihatku. Aku bisa mati. Aku tak punya
uang sama sekali. Apa yang akan terjadi jika bapak meminta uang padaku, tapi
aku tak mampu memberikannya?
“Hei!” ku dengar derap-derap
langkah mengejarku. Bapak! Ah, mati aku! Ku percepat lariku. Sebuah tangan
mencengkeram erat pakaianku. Bapak merenggut tubuhku dengan sangat kasar.
“Bapak, ini aku, Fatimah!”
teriakku ketika menyadari bapak tidak mengenaliku, dan berusaha menodaiku.
“Kau pikir aku peduli siapa
dirimu, ha? Yang aku tahu kau seorang wanita.” Bapak mencoba menodaiku. Aku tak
sanggup melawan. Tubuh bapak jauh lebih besar dibanding tubuhku.
***
Hari mulai pagi. Kokok ayam
mulai terdengar. Pakaianku lepas, berhamburan ke mana-mana. Tangisku pecah.
Bapak sudah pergi dari tadi. Masih belum kupercayai yang terjadi, bapak
menodaiku? Anaknya sendiri? Mungkin bapak tidak mengenaliku karena aku tidak
menggunakan kerudung.
Sepertinya Allah masih terus
akan menguji imanku. Masalahku ini seakan tak akan berhenti. Ingin rasanya aku
mengambil air wudhu, menenangkan pikiran, dan membaca satu ayat.
“Allah tempat meminta segala sesuatu”(Q.S.
Al-Ikhlash:2)
Karya : Nina Khibrani Pasaribu
Kelas : XI IPA 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar