Kamis, 31 Maret 2011

cerpen " ZIARAH "

ZIARAH

CERPEN HERNI FAUZIAH

Malam ini langit tak cerah, suara gemuruh sesekali terdengar. Udara dingin mulai menyelusup ke setiap pori-poriku. Aku terus saja menatap ke ujung jalan, sambil sesekali merapatkan jaket suamiku ke tubuhku yang mulai kedinginan.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. suara kendaraaan yang melewati depan rumahku terdengar sekali-sekali. Tiba-tiba rasa khawatir mulai menyergap pikiranku. Ah, barangkali di perjalanan pulang ia kehujanan, mungkin ia sedang berteduh, demikian aku mencoba menghibur diri.
Ku tutup pintu dengan perlahan, kembali aku ke kamar. Kubaringkan tubuhku di samping putri kecilku yang tertidur lelap. Kucium lembut pipinya yang hangat, sekejap kemudian ia pun menggeliat, seakan-akan tahu aku baru saja menyentuhnya. Perlahan kupanjatkan doa untuk keselamatan suamiku menuju pulang.
Tanpa kusadari aku tertidur pulas. Ketika tersentak betapa terperanjatnya aku, jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Hujan benar-benar sudah turun. Kecemasanku semakin tak terkuasai lagi. Berkali-kali telepon genggamku kulihat, apakah ada panggilan tak terjawab atau sms dari suamiku. Namun harapanku terbentur batu karang. Kucoba untuk menghubunginya, demikian juga, selalu di luar jangkauan.
Rasa cemasku mulai berganti dengan amarah. Ingin aku keluar rumah untuk menyusulnya. Hujan begitu deras. Tak mungkin aku pergi meninggalkan putriku seorang diri. Rasa amarah membuatku kehilangan konsentrasi. Suara kendaraan yang melintas pun sudah tak terdengar lagi. Tetes-tetes hujan dari cucuran atap seakan ikut membasahi jiwaku, meluap.
Mataku tak mau lagi terpejam, tak kuhiraukan lagi ketika suara putriku menangis, barangkali dia pipis atau kehausan. Aku terpaku kaku menahan gejolak yang sedang merajai hatiku. Air mata sama basahnya dengan hujan di luar sana, pikirku. Kubiarkan airmata ini membasahi seluruh tubuhku. Berharap, bila ia pulang nanti ia tahu betapa aku sangat kecewa atas sikapnya malam ini.
Tak berapa lama suara ayam berkokok mulai terdengar. Namun tanda-tanda suamiku pulang tidak ada sama sekali. Suara senandung pengajian pun sudah berganti dengan suara azan. Aku istighfar. Apa yang kulakukan? Ya Allah ampunilah aku.


Aku berwudhu, inilah cara untuk meredam amarah, pikirku. Tuhan, Engkau yang paling tahu rencana apa yang Kau beri untukku, semoga aku bisa kuat. Dalam doa, tak henti-hentinya aku mengucapkan permohonan semoga tak terjadi apa-apa pada suamiku.
Rutinitasku tak berubah, sajian sarapan pagi tetap kusiapkan, tak lupa secangkir kopi hangat kesukaan suami, biarlah dingin juga pikirku, namun tetap ia menghirupnya dengan semangat.
Aku bersiap-siap berangkat mengajar, bekal untuk putriku untuk di bawa kepenitipan pun sudah kusiapkan. Tiba-tiba ku dengar suara kendaraan mas Hadi, hatiku galau kembali. Haruskah aku urungkan berangkat kerja, pikirku.
Mas Hadi sudah di depan gerbang pagar rumah, wajahnya kusut kelelahan. Bajunya kotor terkena lumpur hujan. Pekerjaannya sebagai salah seorang wartawan lepas sebuah harian ternama di kota kami, memungkinkan sebenarnya dengan kondisi begini. Tapi kali ini tak biasanya. Telepon genggamnya tak aktif. Perlahan ku buka pintu gerbang untuknya, aku tak berani bertanya, kubiarkan dia masuk dengan hati penuh tanda tanya. Hanya kusodorkan putriku untuk bisa diciumnya sejenak, biarlah, barangkali bisa sebagai penghilang rasa lelah.
Air putih segelas habis diminumnya. lalu ia duduk, sepertinya ingin menyelonjorkan kaki, kelelahan barangkali. Aku duduk di sampingnya. Ku hubungi sekolahku mengabarkan aku terlambat ke sekolah, tak apalah, toh aku masuk nanti pukul sepuluh.
Mas, apa yang terjadi. Tidak biasanya kamu begini. Dia diam. Pandangan kosong menatap jauh. Aku mulai curiga. Pasti ada apa-apa.
"Kita harus pulang ke rumah ibu," tiba-tiba dia berkata sambil memegang kedua tanganku.
"Aku tahu ini berat" katanya lagi.
Ya, berat memang. Aku harus berjuang untuk meyakinkan Mas Hadi, bahwa kami harus mandiri, bagaimana mungkin ini, kami yang berkeras untuk pindah sekarang kami harus kembali?
" Mas, aku malu pada ibu, aku tak ingin melukainya lagi, rasanya aku baru saja memulai berkomunikasi baik dengan beliau."
"Kondisi mengharuskan kita pindah, Mira, tadi malam aku diculik oleh orang suruhan orang yang kutulis beritanya di koran kemarin, aku dipaksa untuk tidak melanjutkan pemberitaan, kalian menjadi taruhannya".
" Sudahlah, ikuti saja dulu permintaanku, abaikan perasaanmu ." Demikian ia meyakinkanku.
Aku tidak jadi berangkat kerja, pikiranku menjadi tidak tenang, pekerjaannya yang penuh resiko mengharuskanku untuk tidak egois. Hari itu juga kami mengungsi untuk beberapa saat. Kami pulang ke rumah orang tua Mas Hadi.
Hari berlalu tanpa hal-hal yang mengkhawatirkan. Seperti biasa aku dan mas Hadi berangkat kerja. Jujur, sebenarnya aku lebih nyaman meninggalkan putriku bersama eyangnya, ketimbang dengan orang lain. Tapi sebagai manusia aku juga ingin hidup mandiri. Aku ingin mengatur kehidupanku dan membesarkan putriku dengan cara-caraku. Namun, lagi-lagi keinginanku berbentur batu karang. Aku harus mengalah.
Hari ini hari Minggu, hari yang selalu membuatku bahagia, biasanya kami merencanakan membawa si kecil jalan-jalan. Tapi, ternyata pagi tadi Mas Hadi sudah punya rencana melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Dia harus kembali ke kantor katanya.
Aneh, tidak biasanya Mas Hadi pergi meninggalkan buku kecil warna hitam di dalam laci lemariku. Kubuka perlahan lembar demi lembar, biasa saja. Semua merupakan catatan-catatan berita yang akan dan sudah dimuat. Tapi di lembar akhir ada tulisan yang diberi garis tinta warna merah "jangan hentikan aku untuk membongkar kasusmu, demi Tuhan dan demi negeri ini".
Aku gemetar seketika, apakah ini ada kaitannya dengan kepindahan kami beberapa minggu yang lalu? Tuhan, lindungi Mas Hadi.
Seharian ini aku gelisah, selera makanku hilang, aku lebih banyak berdiam diri. Si kecil putri kami tiba-tiba menangis tak mau dibujuk, badannya mulai panas, hatiku mulai cemas, manakala hari sudah mulai menjelang malam. Anakku demam, kupeluk erat tubuh putri kecilku berharap aku bisa memindahkan suhu tubuhnya ke tubuhku. Matanya mulai memerah, tangisnya sudah mulai berkurang, tapi dia akan menangis bila kuletakkan sejenak.
Tanpa terasa aku tertidur dengan si kecil dalam pelukanku.
" Mira, bangun nak, bawa anakmu ke kamar ", ibu membangunkanku.
Aku melirik ke jam dinding yang tergantung bisu di dinding ruangan, sudah pukul sebelas malam. Ku periksa telepon genggam, juga tak tercatat panggilan tak terjawab.
Kubaringkan si kecil di tempat tidur. Mataku malah tak mau terpejam. Hatiku diam, tak ingin menduga apa-apa. Aku berwudhu, ku tegakkan shalat. Dalam doa terus ku mohon keselamatan Mas Hari.
Menjelang subuh, tanda-tanda Mas Hari pulang belum kurasakan. Ada getar yang berdegup kencang tiba-tiba. Ingin sekali aku menyusulnya ke kantor. Meski sekedar mendapat informasi saja. Tapi rasa takut lagi-lagi menyergapku. Aku tidak ingin gegabah, ku coba menghubungi teman sekantornya.
" Mbak, Mas Hadi tidak pulang tadi malam, apa Mas Hadi ada kegiatan liputan luar kota?"
Aku berharap jawaban mereka "ya", tapi di luar dugaanku, jawaban mereka bahwa Mas Hadi kemarin di jeput oleh seseorang yang katanya teman lama.
Sekujur tubuhku bergetar, mulutku terkatup rapat. Tak terasa air mata mengalir tak tertahan. Terbayang masih dalam ingatan, ketika mas Hadi mengungkapkan perasaannya untuk mempersuntingku. Hampir semua keluarga besarku memberikan komentar yang meragukan keputusanku untuk menerima lamarannya.
" Apa kamu sudah pikir, pekerjaannya wartawan, harus kejar-kejar berita, belum lagi kalau meliput berita kerusuhan, demonstrasi atau tawuran, bisa celaka dia. Atau kalau dia menulis tentang berita yang membuat orang tidak senang, bisa jadi janda kamu."
Aku tetap pada pendirianku. Aku memilih Mas Hadi bukan karena materi, tapi hatinya yang selalu memberiku pengertian-pengertian tentang kebenaran. Apapun yang dilakukannya merupakan suara kebenaran, kalaupun dia harus pergi dengan cara terburuk sekalipun, dia telah buktikan tentang sebuah kebenaran
***
Peristiwa lima tahun lalu tak pernah pupus dalam ingatanku, bersama putri kita yang sudah duduk di kelas satu SD, datang berziarah saat kami melebur rindu. Perjuanganmu terus kukenang, dan kuteruskan mengajarkannya kepada putri kita, Mas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar